Senin, 04 Januari 2016

Harus Bersaing di ASEAN, 47% Angkatan Kerja Indonesia Lulusan SD

Tahun baru 2016 menjadi gerbang pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Meski terbentang peluang yang besar, ada sejumlah ancaman yang bisa menjadikan MEA 2016 sebagai bumerang bangsa ini.
Ancaman itu terletak di sektor ketenagakerjaan di mana masih banyak profesi di Indonesia yang belum tersertifikasi dengan baik. Alhasil, saat masuk MEA 2016, tenaga kerja asal Indonesia bisa kalah bersaing dengan tenaga kerja dari negara ASEAN lainnya lantaran kelalaian dari pemerintah dalam mempersiapkan sertifikasi profesi.
Selain itu, profil ketenagakerjaan di Indonesia juga mengkhawatirkan. Dari 255,4 juta penduduk, jumlah angkatan kerja Indonesia mencapai 122,38 juta. Dari jumlah itu, jumlah tenaga kerja mencapai 114,82 juta sementara sisanya, 7,56 juta, merupakan pengangguran. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) 2015, hampir separuh (47,1%) dari angkatan kerja di Indonesia adalah lulusan SD ke bawah sehingga dunia usaha sulit mendapatkan tenaga kerja dengan kualifikasi yang mumpuni.
Sejak akhir 2014, persentase jumlah pengangguran terdidik mengalami peningkatan. Hingga Agustus 2015, angka itu telah menyenyentuh 6,18% dari keseluruhan jumlah pengangguran. Jumlah ini bisa saja kembali meningkat jika angkatan kerja terdidik negeri ini tidak dipersiapkan menghadapi persaingan.
Kondisi kualitas sumber daya manusia dan ketenagakerjaan yang kurang berkualitas ini tercermin juga dari peringkat Human Development Index yang diterbitkan UNDP. Indonesia masih kalah dibandingkan Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand.
Peneliti Lembaga Penelitian Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia Agus Herta Sumarto mengatakan pemberlakuan MEA 2016 tentu saja meningkatkan persaingan di sektor ketenagakerjaan. Berdasarkan kajiannya, dari 12 sektor yang dibuka dengan delapan profesi di dalamnya, hanya sektor pariwisata yang bisa dikatakan paling siap.
“Para tenaga profesional di bidang pariwisata sebagian besar telah melewati proses sertifikasi dan kualifikasi yang diakui semua negara ASEAN,” ujarnya, Rabu (31/12/2015).
Di luar itu, menurutnya, belum ada rencana strategis dalam menghadapi persaingan MEA 2016. Indonesia, katanya, belum memiliki cetak biru serta peta persaingan antarnegara. Padahal, 12 sektor prioritas MEA 2016 akan menyebabkan terjadinya arus bebas tenaga kerja terampil. Hal ini berarti seluruh angkatan kerja yang berasal dari setiap negara boleh keluar-masuk suatu negara untuk mendapatkan pekerjaan.
Sertifikasi profesi merupakan pengakuan terhadap keahlian seseorang di bidang tertentu. Dengan demikian logikanya siapapun yang telah tersertifikasi, akan diprioritaskan untuk mengisi suatu pekerjaan. Dengan temuan LP3E tersebut, bisa dibayangkan berapa banyak tenaga kerja Indonesia yang tidak terserap.
Mari kita telisik lebih dalam lagi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2015, jumlah tenaga kerja di 12 sektor prioritas MEA yakni sebanyak 72,5 juta atau 63,2%. Sementara itu, delapan profesi yang tersebar di 12 sektor tersebut, memiliki tenaga kerja sebesar 1,6 juta atau 1,4%.
Dapat dipastikan, jika Indonesia kalah dalam persiangan di sektor-sektor tersebut, maka sangat banyak jumlah tenaga kerja yang terdmapak imbasnya. Diakui atau tidak, ketertinggalan Indonesia disebabkan karena pemerintah tidak mempersiapkan diri secara maksimal. Berdasarkan data yang dimiliki LP3E Kadin Indonesia yang bersumber dari Kementerian Tenaga Kerja, dari 12 sektor prioritas tersebut, pemerintah belum memiliki peta kebutuhan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKNN).
“Bagaimana mau bikin strategi menghadapi MEA kalau peta kebijakan saja tidak ada. Jangan harap Indonesia bisa memenangkan persaingan,” tutur Agus Herta Sumarto.
Dilihat dari jumlah Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) setidaknya ada tiga sektor yang belum memiliki lembaga sertifikasi yang meliputi jasa logistik, penerbangan, serta produk karet. Karena itu, LP3E memperkirakan 2016 akan menjadi tahun yang berat bagi sektor ketenagakerjaan di Indonesia.

PHK PT Multimas Nabati Asahan (MNA)

Pendahuluan
Ratusan karyawan PT Multimas Nabati Asahan (MNA) Kuala Tanjung tergabung dalam organisasi Serikat Karyawan (Sekar) Wilmar berunjuk rasa menuntut manajemen mencabut pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pengurus karyawan perusahaan itu, Selasa (18/10).
Sebab, PHK yang dilakukan perusahaan tersebut sepihak dan hanya karena masalah sepele yakni memprotes serta rasa ketidakpuasan atas pelayana kantin di perusahaan itu. Aksi damai dengan berseragam warna biru itu langsung menutup akses pintu pintu gerbang menuju pabrik kelapa sawit (PKS) perusahaan itu. 
Aksi damai itu dijaga puluhan anggota kepolisian dari Polsek Lima Puluh dan Indrapura. Seluruh kegiatan kendaraan pengangkut TBS dan Crude Palm Oil (CPO) dari dan menuju pabrik otomatis terhalang sebab dihadang pengunjuk rasa.
Orator aksi Rizky Harahap dengan mengunakan alat pengeras suara bermohon kepada pihak manajemen perusahaan agar aspirasi mereka diterima. Sebab, tindakan PHK yang dilakukan PT Multimas dinilai sangat diskriminatif dan tak manusiawi, sebab tidak malalui musyawarah seperti yang diamanatkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PPU-I/2003 tentang PHK terhadap Karyawan Perusahaan.
Rizky menyebutkan kebijakan memPHK dirinya tak sesuai dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) serta dirasakan sangat tidak masuk akal dan cendrung dipaksakan serta PHK sepihak.
Menurut Rizki didampingi Sekretarisnya, Manalsal Pakpahan, mengatakan perusahaan sebenarnya sudah lama berusaha memberhentikan mereka, karena perusahaan mengetahui kelompok Sekar Wilmar akan menuntut hak-hak normatif karyawan yang selama ini dinilai tak sesuai UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagaan Kerjaan.
Rizky membeberkan kebobrokan manajemen PT Multimas yakni tentang kesejahteraan dan fasilitas karyawan seperti perumahan yang belum mereka miliki. Kemudian, fasilitas kantin tempat makan yang dinilai tidak sehat.
Mereka juga menuntut agar perusahaan menghitung masa kerja dalam penyusunan struktur dan skala upah yang berdasarkan UU 13 Tahun 2003 dan KepMen Tenaga Kerja 49 tahun 2004. Perusahaan juga diminta melakukan pemenuhan besaran 75% upah pokok dari jumlah upah kerja dan tunjangan tetap dalam system pengupahan sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No 8 tahun 1981.


Teori 
Tetapi yang menjadikan demo pekerja pada kasus diatas bukan dari factor manager saja melainkan dari pihak perusahaan yang tidak mau mendengarkan keluhan dari pihak pekerja. Walaupun manager sudah bersusah payah untuk memperjuangkan para bawahannya tapi pihak perusahaan yang tidak mempedulikan nasib pekerja akan mengakibatkan hal yang sama atau bisa lebih parah lagi.
Seharusnya pihak perusahaan mengadakan konsultasi dengan pihak pekerja sehingga para pekerja tidak akan mengeluh apa lagi mengadakan aksi demo. Lalu pihak perusahaan harus memenuhi semua kewajibannya kepada pekerja 
PHK seringkali disamakan dengan pemecatan secara sepihak oleh perusahaan terhadap pekerja karena kesalahan pekerjanya, sehingga kata PHK terkesan negatif. Padahal, pada kenyataannya PHK tidak selalu sama dengan pemecatan. Dalam UU No 13/2003, Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha . PHK dapat dibedakan menjadi dua yaitu secara sukarela dan tidak sukarela. PHK sukarela merupakan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja (pengunduran diri) tanpa adanya paksaan atau intimidasi dan disetujui oleh pihak perusahaan. PHK tidak sukarela terdiri dari: (1) PHK oleh perusahaan baik karena kesalahan pekerja itu sendiri maupun karena alasan lain seperti kebijakan perusahaan; (2) Permohonan PHK oleh pekerja ke LPPHI (Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial) karena kesalahan pengusaha; (3) PHK karena putusan hakim dan (4) PHK karena peraturan perundang-undangan.
Jangan lupa bahwa dalam suatu kejadian PHK, kedua pihak sama-sama merugi. Pekerja merugi karena kehilangan mata pencaharian, dan perusahaan merugi karena kehilangan aset sumber daya manusia serta kehilangan modal yang telah dikeluarkan untuk recruitment dan peningkatan kompetensi pekerja (pelatihan dan pendidikan). Karenanya, untuk dapat melakukan analisis etika PHK, pertama-tama kita harus memiliki sudut pandang yang netral mengenai PHK itu sendiri.
Untuk PHK tidak sukarela, etika menjadi lebih kompleks karena ada salah satu pihak yang tidak menyetujuinya. Dalam makalah ini, PHK tidak sukarela yang akan dibahas adalah jenis pertama, yaitu PHK oleh perusahaan. Terdapat bermacam-macam alasan PHK, yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: pertama, karena pekerja (melakukan kesalahan berat atau melanggar peraturan perusahaan); kedua, karena perusahaan (pailit, merugi atau melakukan efisiensi); ketiga PHK yang tidak bisa dihindarkan (selesainya kontrak, pekerja sakit, meninggal dunia atau memasuki masa pensiun)

Analisis

melihat kasus diatas membuktikan bahwa perusahaan sering semena-mena dengan pegawainya  atau pekerjanya. Sudah menjadi tugas seorang pemimpin atau manager menjadi penghubung antara pihak perusahaan dengan pekerja. Bila pemimpin atau manager tidak bisa menjadi penghubung atau perantara yang baik maka kasus yang diatas akan terjadi
Tetapi yang menjadikan demo pekerja pada kasus diatas bukan dari factor manager saja melainkan dari pihak perusahaan yang tidak mau mendengarkan keluhan dari pihak pekerja. Walaupun manager sudah bersusah payah untuk memperjuangkan para bawahannya tapi pihak perusahaan yang tidak mempedulikan nasib pekerja akan mengakibatkan hal yang sama atau bisa lebih parah lagi.
Seharusnya pihak perusahaan mengadakan konsultasi dengan pihak pekerja sehingga para pekerja tidak akan mengeluh apa lagi mengadakan aksi demo. Lalu pihak perusahaan harus memenuhi semua kewajibannya kepada pekerja begitu juga sebaliknya. Bila tidak memenuhi kewajibannya, perusahaan bisa di gugat di meja hijau dengan pasal-pasal yang sudah ada di DEPNAKER.

http://natanwalker.blogspot.co.id/2012/01/studi-kasus-phk-sepihak-oleh-perusahaan.html

http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/10/19/61517/pt_mna_dinilai_lakukan_phk_sepihak/#.TwnSU6X9OMo