Summa Theologica
Abstrak
Thomas Aquinas, seorang imam Katolik asal Italia
yang dalam salah satu karyanya yang berjudul Summa Theologicamenulis mengenai
kehendak bebas. Di dalam karyanya itu, Aquinas merangkum kehendak bebas dalam
empat bahasan, yaitu: Apakah manusia memiliki kehendak bebas, apa itu kehendak
bebas, sifat kehendak bebas, dan kesamaan kehendak bebas dengan kehendak.
Katakunci: Thomas Aquinas, kehendak bebas, manusia.
1. Thomas
Aquinas
Thomas Aquinas (1225-74) merupakan seorang imam dari
Italia yang tergabung dalam Ordo Dominika Gereja Katolik Roma,
sekaligus sebagai filusuf dan teolog yang sangat berpengaruh dalam
tradisi skolastik. Terdapat dua karyanya yang paling terkenal yaitu Summa Theologiae dan Summa Contra Gentiles. Karya-karya Aquinas
banyak dipengaruhi oleh filusuf-filusuf dan
teolog-teolog sebelumnya seperti Aristotles, IbnuSina, Ibnu Rusyd, Al-Gazali, Augustine
dari Hippo, Boethius, Yohanes dari Damaskus, Rasul Paulus, Dinosyus Areopagite,
Albertus Magnus, Maimonides, Anselm, Plato, Cicero, dan Eriugena. Dengan
karyanya juga memengaruhi filusuf-filusuf dan teolog-teolog sesudahnya seperti,
Giles, Godfrey, Hooker, John Locke, Dante, Leibniz, Jacques Maritain, Étiene
Gilson, Anscombe, Eckhart, Chresterton, Joyce, Kenny, Carvalho, Rothbard,
Walker Percy, dan Paus Pius XII.
2. Kehendak
Bebas
Dalam satu bagian, [Q83] Treatise of Man dalam karyanya yang berjudul Summa Theologiae, Aquinas membahas mengenai free-will atau kehendak bebas. Terdapat empat poinutama dalam pembahasannya, yaitu:
1.
Apakah manusia
memiliki kehendak bebas?
2.
Apa itu
kehendak bebas kekuatan (daya upaya), tindakan, atau adat kebiasaan?
3.
Jika kehendak
bebas merupakan sebuah kekuatan (dayaupaya),
apakah ia bersifatap etitif atau kognitif?
4.
Jika kehendak
bebas bersifatapetitif, apakahia sama dengan kehendak (will)?
1.1. PoinSatu
Padapoin yang pertama “Apakah manusia memiliki kehendak bebas?”, Aquinas
menjawab, “Manusia memiliki kehendak bebas, jika tidak maka apa yang
disarankan, perencanaan, bujuk rayu, perintah, larangan, reward dan punishment menjadi
tidak berarti. Untuk menjelaskannya, kita harus memerhatikan bahwa ada hal-hal
yang terjadi tanpa pertimbangan ; seperti batu yang jatuh kebawah; dan
pada segala sesuatu yang kita tidak memiliki pengetahuan akannya. Dan beberapa hal
terjadi karena pertimbangan, namun bukan pertimbangan bebas. Manusia
bertindak karena pertimbangan, dengan daya aperhensif yang dimilikinya, Iamem pertimbangkan sesuatu untuk dihindari atau dilakukan.
Namun karena pertimbangan ini, dalam hal-hal tertentu bukan berasal dari insting,
namun dari perbandingan-perbandingan dengan alasan-alasan sehingga manusia
bertindak dari pertimbangan bebas dan tetap memiliki daya untuk condong kepada
hal-hal terentu. Namun, untuk hal-hal yang tidak pasti,
kita dapat memahami melalui kebalikannya, seperti yang dapat kita lihat dalam
silogisme dialektik dan argumen-argumenretorik. Adapun, operasi-operasi tertentu
merupakan hal yang tidak pasti, sehingga dalam hal yang seperti itu,
alasan pertimbangan dapat mengikuti makna sebaliknya yang memiliki banyak kemungkinan
yang tidak tertuju pada satu titik. Dan karena ternyata manusia adalah makhluk yang
rasional maka merupakan sebuah kebutuhan bagi manusia untuk memiliki kehendak
bebas.”
1.2. Poin Dua
Pada poin yang kedua “Apa itu kehendak bebas –kekuatan (dayaupaya),
tindakan, atau adat kebiasaan?”, Aquinas menjawab, “Meskipun kehendak bebas [liberumarbitrium – pertimbangan bebas]
dalam artian yang paling ketat berarti “tindakan [acta]”, namun dalam tata cara berbicaraawan, kehendak bebas
merupakan kaidah/prinsip tindakan dengan mana manusia mempertimbangkan secara
bebas. Kaidah/prinsiptin akan merupakan daya upaya dan adat kebiasaan [a power and a habit]; karena kita mengatakan
bahwa sanya kita mengetahui sesuatu baik dengan pengetahuan (eksplisit) maupun
dengan intelektualitas (implisit). Sehingga kehendak bebas haruslah merupakan
sebuah daya upaya dan adat kebiasaan [a power
and a habit]atau daya upaya dengan adat kebiasaan [a power with a habit]. Kehendak bebas
bukanlah adat kebiasaan saja maupun daya upaya bersama adat kebiasaan, hal ini dapat
dinyatakan dengan dua cara:
Yang pertama, karena jika kehendak bebas merupakan adat kebiasaan, maka
haruslah ia merupakan adat kebiasaan yang natural/alamiah. Namun bukanlah adat kebiasaan
yang natural/alamiah yang ada dalam diri kita manusia mengacu pada hal-hal yang
terjadi karena kehendak bebas: karena kita manusia secara natural/alamiah condong
kepada hal-hal yang mana biasa kita lakukan. Singkatnya, untuk mengingatkan pada
kaidah yang pertama: sementara hal-hal yang mana kita akan condong secara
natural/alamiah bukanlah subjek dari kehendak bebas, sebagaimana kita mengatakan
hasrat kebahagiaan. Oleh karena itu, maka hal ini bertentangan dengan gagasan
yang pertama, kehendak bebas adalah adat kebiasaan. Sehingga tidak masuk akal
jika kehendak bebas merupakan adat kebiasaan.
Yang kedua, hal ini jelas karena adat kebiasaan didefinisikan "by reason of which we are well or ill disposed with regard to actions and passions" (Ethic. ii, 5); Karena dengan kita menguasai diri, kita dapat berwatak baik dan ketika kita kehilangan kekuasaan diri maka kita menjadi berwatakburuk: dan dengan pengetahuan, kita manusia berwatak baik kepada hal-hal yang berakal budi ketika mengetahui kebenaran, dan sebaliknya. Namun kehendak bebas tidak lah berbeda dengan pilihan baik dan buruk, oleh karena itu adalah hal yang mustahil, kehendak bebas adalah adat kebiasaan. Sehingga kehendak bebas merupakan dayaupaya [power].”
1.3. PoinTiga
Padapoin yang ketiga “Jika kehendak bebas merupakan sebuah kekuatan/daya upaya
[power],
apakah ia bersifat apetitif atau kognitif?, Aquinas menjawab, “Tindakan dari kehendak
bebas adalah pilihan [choice]:
karena kita mengatakan, “kita manusia memiliki kehendak bebas
karena kita dapat memilih satu hal dan menolak yang lainnya; maka ini adalah pilihan”.
Sehingga kita harus mempertimbangkan sifat dari kehendak bebas, dengan
mempertimbangkan sifat dari “pilihan”. Adapun, dua hal bersepakat dalam
pilihan: satu pada bagian kognitif, yang mana dibutuhkan perencanaan
sehingga kita mempertimbang suatu hal untuk lebih disukai dari yang lainnya: dan satu
lahi pada bagian apetitif, yang mana sifat
apetitif seharusnya menerima pertimbangan dari perencanaan. SehinggaAristotles
(Ethic. Vi, 2) meninggalkannya dalam keraguan apakan “pilihan” secara prinsipil
merupakan bagian dari apetitif atau kognitif: karena ia mengatakan, bahwa “pilihan”
merupakan salah satu dari appetitive
intellect atau intellectual appetite. Namun
(Ethic. iii, 3) Aristotles agaknya condong kepada “pilihan”sebagai intellectual appetite ketika Ia mengartikan
“pilihan” sebagai “a desire proceeding
from counsel”. Dan alasan untuk hal ini adalah bahwa sanya objek dari “pilihan”
adalah perhitungan akan makna dari kesudahan/akhir: dan ini, merupakan sifat
dari kebaikan itu yang disebut dengan “berguna” [utilis]: oleh karena Ia baik, maka Ia merupakan objek dari hasrat [appetite], ergo,
secara prinsipil, “pilihan” merupakan tindakan dari “kekuatan hasrat” [appetitive power]. Sehingga kehendak
bebas merupakan hasrat.
1.4. PoinEmpat
Pada poin yang keempat “Jika kehendak bebas bersifat
apetitif, apakah ia sama dengan kehendak (will)?”,
Aquinas menjawab, “Kekuatan hasrat [appetitive
power] harus sepadan/seimbang dengan kekuatan
kecemasan/kegegelisahan/ketakuatan [apprehensive
power]. Adapun, pada bagian intellectual
apprehension kita manusia memiliki kecerdasan dan akal budi, maka pada
bagian intellectual appetite kita
memiliki kehendak, dan kehendak bebas yang tidak lain adalah the power of choice, kekuatan pilihan.
Dan hal ini jelas dari relasi antara keduanya terhadap objek masing-masing.
Karena tindakan “pemahaman” mengimplikasikan penerimaan sesuatu, namun untuk
“berpikir” kita harus menjelajahi pengetahuan-pengetahuan dengan
membandingkannya, oleh karena itu, kita berpikir mengenai kesimpulan.
“Kehendak” [will] mengimplikasikan
hasrat akan sesuatu: oleh karena itu kehendak dikatakan perhitungan akan
kesudahan/akhir dari kehendak [to regard
the end]. Namun “memilih” adalah untuk
mengingini/menghendaki sesuatu demi mendapatkan sesuatu yang lainnya, oleh
karena itu, memilih dikatakan perhitungan akan makna dari kesudahan/akhir
pilihan [to regard the means to the end].
Adapun, dalam ikhwal pengetahuan, kaidah-kaidah dihubungkan kepada kesimpulan
yang mana kita menyetujui pada nilai dari kaidah-kaidah itu sendiri: seperti,
ikhwal apetitif, kesudahan/akhir dihubungkan dengan makna, yang
diingini/dikehendaki pada nilai dari kesudahan/akhir.” Maka pada akhirnya,
Aquinas menyimpulkan, “It is evident that as the intellect
is to reason, so is the will to the power of choice, which is free-will”.
Keduannya merpakan bagian dari kekuatan/daya upaya yang sama, keduanya untuk
memahami dan berpikir. Sehingga “kehendak” [will
]dan “pilihan” [choose] merupakan
kekuatan/daya upaya yang sama; dan pada akhirnya, kehendak [will] dan kehendak bebas [free-will] merupakan hal yang sama.
Referensi:
Bros, B. (1947). Summa Theologica (1947 ed.).
(B. Bros, Ed., & F. o. Province, Trans.) Perrysburg, Ohio, United States:
Sandra K. Perry (Digital Self Publishing).