Selasa, 28 Januari 2014

free will



St. Thomas Aquinas: Free Will
Summa Theologica


Abstrak
Thomas Aquinas, seorang imam Katolik asal Italia yang dalam salah satu karyanya yang berjudul Summa Theologicamenulis mengenai kehendak bebas. Di dalam karyanya itu, Aquinas merangkum kehendak bebas dalam empat bahasan, yaitu: Apakah manusia memiliki kehendak bebas, apa itu kehendak bebas, sifat kehendak bebas, dan kesamaan kehendak bebas dengan kehendak.
Katakunci: Thomas Aquinas, kehendak bebas, manusia.
1.    Thomas Aquinas
Thomas Aquinas (1225-74) merupakan seorang imam dari Italia yang tergabung dalam Ordo Dominika Gereja Katolik Roma, sekaligus sebagai filusuf dan teolog yang sangat berpengaruh dalam tradisi skolastik. Terdapat dua karyanya yang paling terkenal yaitu Summa Theologiae dan Summa Contra Gentiles. Karya-karya Aquinas banyak dipengaruhi oleh filusuf-filusuf dan teolog-teolog sebelumnya seperti Aristotles, IbnuSina, Ibnu Rusyd, Al-Gazali, Augustine dari Hippo, Boethius, Yohanes dari Damaskus, Rasul Paulus, Dinosyus Areopagite, Albertus Magnus, Maimonides, Anselm, Plato, Cicero, dan Eriugena. Dengan karyanya juga  memengaruhi filusuf-filusuf dan teolog-teolog sesudahnya seperti, Giles, Godfrey, Hooker, John Locke, Dante, Leibniz, Jacques Maritain, Étiene Gilson, Anscombe, Eckhart, Chresterton, Joyce, Kenny, Carvalho, Rothbard, Walker Percy, dan Paus Pius XII.

2.    Kehendak Bebas
Dalam satu bagian, [Q83] Treatise of Man dalam karyanya yang berjudul Summa Theologiae, Aquinas membahas mengenai free-will atau kehendak bebas. Terdapat empat poinutama dalam pembahasannya, yaitu:
1.    Apakah manusia memiliki kehendak bebas?
2.    Apa itu kehendak bebas kekuatan (daya upaya), tindakan, atau adat kebiasaan?
3.    Jika kehendak bebas merupakan sebuah kekuatan (dayaupaya), apakah ia bersifatap etitif atau kognitif?
4.    Jika kehendak bebas bersifatapetitif, apakahia sama dengan kehendak (will)?

1.1.  PoinSatu
Padapoin yang pertama “Apakah manusia memiliki kehendak bebas?”, Aquinas menjawab, “Manusia memiliki kehendak bebas, jika tidak maka apa yang disarankan, perencanaan, bujuk rayu, perintah, larangan, reward dan punishment menjadi tidak berarti. Untuk menjelaskannya, kita harus memerhatikan bahwa ada hal-hal yang terjadi tanpa pertimbangan ; seperti batu yang jatuh kebawah; dan pada segala sesuatu yang kita tidak memiliki pengetahuan akannya. Dan beberapa hal terjadi karena pertimbangan, namun bukan pertimbangan bebas. Manusia bertindak karena pertimbangan, dengan daya aperhensif yang dimilikinya, Iamem pertimbangkan sesuatu untuk dihindari atau dilakukan. Namun karena pertimbangan ini, dalam hal-hal tertentu bukan berasal dari insting, namun dari perbandingan-perbandingan dengan alasan-alasan sehingga manusia bertindak dari pertimbangan bebas dan tetap memiliki daya untuk condong kepada hal-hal terentu. Namun, untuk hal-hal yang tidak pasti, kita dapat memahami melalui kebalikannya, seperti yang dapat kita lihat dalam silogisme dialektik dan argumen-argumenretorik. Adapun, operasi-operasi tertentu merupakan hal yang tidak pasti, sehingga dalam hal yang seperti itu, alasan pertimbangan dapat mengikuti makna sebaliknya yang memiliki banyak kemungkinan yang tidak tertuju pada satu titik. Dan karena ternyata manusia adalah makhluk yang rasional maka merupakan sebuah kebutuhan bagi manusia untuk memiliki kehendak bebas.”

1.2.  Poin Dua
Pada poin yang kedua “Apa itu kehendak bebas –kekuatan (dayaupaya), tindakan, atau adat kebiasaan?”, Aquinas menjawab, “Meskipun kehendak bebas [liberumarbitrium – pertimbangan bebas] dalam artian yang paling ketat berarti “tindakan [acta]”, namun dalam tata cara berbicaraawan, kehendak bebas merupakan kaidah/prinsip tindakan dengan mana manusia mempertimbangkan secara bebas. Kaidah/prinsiptin akan merupakan daya upaya dan adat kebiasaan [a power and a habit]; karena kita mengatakan bahwa sanya kita mengetahui sesuatu baik dengan pengetahuan (eksplisit) maupun dengan intelektualitas (implisit). Sehingga kehendak bebas haruslah merupakan sebuah daya upaya dan adat kebiasaan [a power and a habit]atau daya upaya dengan adat kebiasaan [a power with a habit]. Kehendak bebas bukanlah adat kebiasaan saja maupun daya upaya bersama adat kebiasaan, hal ini dapat dinyatakan dengan dua cara:

Yang pertama, karena jika kehendak bebas merupakan adat kebiasaan, maka haruslah ia merupakan adat kebiasaan yang natural/alamiah. Namun bukanlah adat kebiasaan yang natural/alamiah yang ada dalam diri kita manusia mengacu pada hal-hal yang terjadi karena kehendak bebas: karena kita manusia secara natural/alamiah condong kepada hal-hal yang mana biasa kita lakukan. Singkatnya, untuk mengingatkan pada kaidah yang pertama: sementara hal-hal yang mana kita akan condong secara natural/alamiah bukanlah subjek dari kehendak bebas, sebagaimana kita mengatakan hasrat kebahagiaan. Oleh karena itu, maka hal ini bertentangan dengan gagasan yang pertama, kehendak bebas adalah adat kebiasaan. Sehingga tidak masuk akal jika kehendak bebas merupakan adat kebiasaan.


Yang kedua, hal ini jelas karena adat kebiasaan didefinisikan "by reason of which we are well or ill disposed with regard to actions and passions" (Ethic. ii, 5); Karena dengan kita menguasai diri, kita dapat berwatak baik dan ketika kita kehilangan kekuasaan diri maka kita menjadi berwatakburuk: dan dengan pengetahuan, kita manusia berwatak baik kepada hal-hal yang berakal budi ketika mengetahui kebenaran, dan sebaliknya. Namun kehendak bebas tidak lah berbeda dengan pilihan baik dan buruk, oleh karena itu adalah hal yang mustahil, kehendak bebas adalah adat kebiasaan. Sehingga kehendak bebas merupakan dayaupaya [power].”

1.3.  PoinTiga
Padapoin yang ketiga “Jika kehendak bebas merupakan sebuah kekuatan/daya upaya [power], apakah ia bersifat apetitif atau kognitif?, Aquinas menjawab, “Tindakan dari kehendak bebas adalah pilihan [choice]: karena kita mengatakan, “kita manusia memiliki kehendak bebas karena kita dapat memilih satu hal dan menolak yang lainnya; maka ini adalah pilihan”. Sehingga kita harus mempertimbangkan sifat dari kehendak bebas, dengan mempertimbangkan sifat dari “pilihan”. Adapun, dua hal bersepakat dalam pilihan: satu pada bagian kognitif, yang mana dibutuhkan perencanaan sehingga kita mempertimbang suatu hal untuk lebih disukai dari yang lainnya: dan satu lahi pada bagian apetitif, yang mana sifat apetitif seharusnya menerima pertimbangan dari perencanaan. SehinggaAristotles (Ethic. Vi, 2) meninggalkannya dalam keraguan apakan “pilihan” secara prinsipil merupakan bagian dari apetitif atau kognitif: karena ia mengatakan, bahwa “pilihan” merupakan salah satu dari appetitive intellect atau intellectual appetite. Namun (Ethic. iii, 3) Aristotles agaknya condong kepada “pilihan”sebagai intellectual appetite ketika Ia mengartikan “pilihan” sebagai “a desire proceeding from counsel”. Dan alasan untuk hal ini adalah bahwa sanya objek dari “pilihan” adalah perhitungan akan makna dari kesudahan/akhir: dan ini, merupakan sifat dari kebaikan itu yang disebut dengan “berguna” [utilis]: oleh karena Ia baik, maka Ia merupakan objek dari hasrat [appetite], ergo, secara prinsipil, “pilihan” merupakan tindakan dari “kekuatan hasrat” [appetitive power]. Sehingga kehendak bebas merupakan hasrat.

1.4.  PoinEmpat
Pada poin yang keempat “Jika kehendak bebas bersifat apetitif, apakah ia sama dengan kehendak (will)?”, Aquinas menjawab, “Kekuatan hasrat [appetitive power] harus sepadan/seimbang dengan kekuatan kecemasan/kegegelisahan/ketakuatan [apprehensive power]. Adapun, pada bagian intellectual apprehension kita manusia memiliki kecerdasan dan akal budi, maka pada bagian intellectual appetite kita memiliki kehendak, dan kehendak bebas yang tidak lain adalah the power of choice, kekuatan pilihan. Dan hal ini jelas dari relasi antara keduanya terhadap objek masing-masing. Karena tindakan “pemahaman” mengimplikasikan penerimaan sesuatu, namun untuk “berpikir” kita harus menjelajahi pengetahuan-pengetahuan dengan membandingkannya, oleh karena itu, kita berpikir mengenai kesimpulan. “Kehendak” [will] mengimplikasikan hasrat akan sesuatu: oleh karena itu kehendak dikatakan perhitungan akan kesudahan/akhir dari kehendak [to regard the end]. Namun “memilih” adalah untuk mengingini/menghendaki sesuatu demi mendapatkan sesuatu yang lainnya, oleh karena itu, memilih dikatakan perhitungan akan makna dari kesudahan/akhir pilihan [to regard the means to the end]. Adapun, dalam ikhwal pengetahuan, kaidah-kaidah dihubungkan kepada kesimpulan yang mana kita menyetujui pada nilai dari kaidah-kaidah itu sendiri: seperti, ikhwal apetitif, kesudahan/akhir dihubungkan dengan makna, yang diingini/dikehendaki pada nilai dari kesudahan/akhir.” Maka pada akhirnya, Aquinas menyimpulkan, “It is evident that as the intellect is to reason, so is the will to the power of choice, which is free-will”. Keduannya merpakan bagian dari kekuatan/daya upaya yang sama, keduanya untuk memahami dan berpikir. Sehingga “kehendak” [will ]dan “pilihan” [choose] merupakan kekuatan/daya upaya yang sama; dan pada akhirnya, kehendak [will] dan kehendak bebas [free-will] merupakan hal yang sama.

Referensi:
Bros, B. (1947). Summa Theologica (1947 ed.). (B. Bros, Ed., & F. o. Province, Trans.) Perrysburg, Ohio, United States: Sandra K. Perry (Digital Self Publishing).